kali ini update kempong hadir dengan cerpen yang ditulis oleh salah satu redaksi blog kempong.
Cerita ini hanya fiksi. Kesamaan nama orang dan tempat hanya kebetulan belaka.
GITAR KECIL
Tak ada satu malampun yang lepas. Hari-hari seperti kehilangan identitasnya. Di taman itu, malam seperti pekat yang selalu datang silih berganti. Anak-anak itu layaknya oksigen yang mengisi kekosongan ditepian warung remang. Hal yang dipahami hanyalah apa yang akan dimakan hari ini. Mengais sesuap receh dari setiap pasangan yang datang. Walaupun yang datang bukan hanya pasangan, ada anak, remaja, bapak, ibu, kakek, nenek hingga semua berbaur dengan aktivitas penuh milik mereka. Kasus politik,ekonomi, sosial, atau keuangan tak mereka hiraukan. “apalah urusan memperdulikan mereka, toh mereka tidak memikirkan kita? Hanya ribut sendiri tidak pernah malu dengan umur mereka.” Pohon terombang-ambing angin karena ini memang musim kemarau. Debu bertebaran. Tapi warung tetap ramai, orang beli rokok, kopi, keripik hingga beli miras. Tapi anak-anak ini tetap menyanyikan lagu diiringi gitar bekas dengan ditambal sticker di kanan kiri. Entah siapa yang mengajari not dan nada tapi yang jelas semua yang dilakukan tidak akan diperdulikan oleh mereka yang memberi. Suara yang keluar hanya sebatas mengiringi alunan saja. Bolak-balik memutar hingga empat kali dalam waktu dua puluh menit saja.
Seseorang berbadan besar berperawakan kulit hitam dengan rambut gondrong datang menghampiri. menepuk salah satu dari mereka dan menarik ke tempat gelap. Sepertinya uang malam ini akan berakhir padanya. Hasil yang lumayan tapi akan lenyap beberapa menit kedepan. Yah beginilah nasib anak jalanan. Daripada di pukuli lebih baik serahkan saja.
Sebenarnya ia punya keluarga. Tapi ayahnya pergi. Saat diceritakan, katanya pergi mencari kerja tapi tidak pernah kembali lagi. Yah tapi masih mending karena masih ada ibu. Namun, ibu harus bekerja keras. Pagi-pagi jadi buruh cuci di rumah tetangga, dapat uang tidak seberapa. Siang harus jual koran di pinggir jalan. Disuruhnya mengamen saja daripada hanya main. Jadi dari pagi harus sudah bersiap-siap. Pulangnya malam. Syukur kalau masih dapat uang. Kadang dapat sedikit tapi habis di “jarah” si badan besar. Lapar sudah seperti teman baik. Menemani setiap pulang kerumah.
Kadang sudah ada makanan dimeja. Hampir seperti sulap saja. Tapi lebih sering ia temui meja hanya tertutup taplak meja bukan piring dan mangkuk tanda ada makan malam. Ia harus segera tidur karena besok pagi harus melakukan aktivitas yang sama dengan hari ini. Tak ada waktu bermain-main, bersenang-senang apalagi berlibur. Ia pernah bersekolah tapi hanya sampai lulus SD, itupun karena biayanya di gratiskan oleh pemerintah. Lumayan, ia bisa lancar membaca. Semua yang ia punya disyukuri tanpa banyak meminta. Apa daya orang miskin? Kalau sakit hanya bisa menunggu sampai sembuh sendiri. Kalau ke puskesmas, harus menyertakan surat-surat dari kelurahan yang berbelit-belit syaratnya, ada inilah itulah. Pokoknya susah. Apalagi kalau ke rumah sakit, tidak akan ditangani oleh pak dokter atau bu dokter setelah melihat pakaian kami. Apa oarang sekarang melihat orang lain hanya dari pakaiannya? Dengan gaya perlente dan jas hitam sudah dihormati orang? Apa orang tidak memikirkan apa sebenarnya orang di balik jas itu? Apa memang pakaian bersih mereka melambangkan hati mereka?
Mungkin pikiran seperti itu hanya muncul sekilas saat aku lapar. Kelaparan membuat pikiran orang menjadi tidak waras. Menjadi berkhayal menuju awang-awang. Menjadikan orang berpikir instans untuk mengisi perutnya. Tapi ia tidak. Uang untuk membeli makanan itu bukan hanya untuk perutnya, tapi juga untuk perut-perut kecil adiknya. Kadang uang yang ibu dapat hanya cukup untuk makan satu kali. Setelah itu adiknya akan menangis karena lapar. Ya lapar. Oleh karena itu, besok pagi ia harus dapat uang banyak agar bisa membelikan adiknya makanan. Hanya itu motivasi untuk rajin mengamen. Walaupun pekerjaan ini berat dan memalukan tapi ia harus melakukannya. Apa malu akan membuat perut adik dan ibunya kenyang? Tidak akan. Hanya uang yang bisa membuat keluarganya tetap hidup. Terlalu klise? Tidak. Inilah kenyataan hidup. Paham keuangan yang maha esa sudah benar-benar merasuk dalam kehidupan manusia sekarang. Khususnya di perkotaan.
Sebelum tidur, ia masih berpikir tentang harapan untuk mengangkat derajat keluarganya menjadi lebih baik. Walaupun itu berat, tapi semua orang harus tetap punya harapan. Harapan tidaklah menjadi beban, tapi lebih menjadi pelecut semangat. Semangat inilah yang nantinya bisa mewujudkan harapan itu. Namun, ia berpikir bahwa dengan keterbatasannya saat ini ia masih bisa mewujudkan harapan itu asal tetap berusaha dengan jalan kejujuran.
Ia tidak seperti kebanyakan orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai harapan. Ia sadar bila kerja keras dan kejujuran menjadi kunci penting. Bila seseorang dapat melakukannya maka akan ada kepuasan tersendiri. Suatu penghargaan yang tidak diketahui orang lain namun tetap membuat sang empunya bangga. Coba tengok wakil rakyat yang telah dipilih, setelah duduk di kursi mereka lantas lupa siapa yang memilih. Bahkan, hampir kehilangan urat kepeduliannya. Tapi itu hanya segelintir orang. Bagaimanapun tergantung individu masing-masing. Kita tidak bisa menilai semua wakil rakyat itu buruk, nyatanya ada yang berjuang membela TKI di tanah Saudi, ada juga yang peduli terhadap nasib buruh. Meskipun tidak sebaik malaikat, tapi mereka masih sadar terhadap tanggung jawab yang dipikul di pundak mereka. Ia bersyukur masih ada orang yang seperti itu di zaman sekarang ini.
Ia sudah jenuh dengan kehidupan manusia sekarang yang menganggap uang adalah segalanya. Memang benar kalau uang bisa membeli semua barang. Namun, yang penting juga adalah sikap tolong menolong yang harus ada di dalam hati. Ia pernah bertanya pada ibunya, “bu, kenapa kita dilahirkan dengan keadaan ekonomi seperti ini?” ibunya lantas menjawab, “nak, Allah itu maha adil jadi ada sesuatu dibalik semua ini. Janganlah kau mengeluh terhadap keadaan.” Namun ia menjadi marah mendengar jawaban seperti itu. Dalam hatinya ia ingin menjadi seseorang yang kaya raya, bergelimang uang, mempunyai mobil mewah, rumah besar dan khayalan-khayalan lain.
Di lain hari, ia bertanya kembali dengan pertanyaan yang sama kepada ibunya, lagi-lagi ibunya menjawab dengan jawaban yang sama terus-menerus. Hingga pada suatu saat, saat ia mengamen, ia melihat seorang ibu berjalan di trotoar sendirian menenteng tas berwarna hitam. Terpikir olehnya untuk mengambil tas ibu itu, ia benar-benar telah terasuki pikiran yang kotor hingga membuat mata hatinya tertutup. Setelah mendekat menuju tempat ibu itu berjalan, ia lantas mengambil secara paksa tas hitam tersebut kemudian dibawa lari sekencang mungkin. Ibu itupun berteriak selantang mungkin “jambret!” seketika itu warga dekat tempat kejadian sekonyong-konyong mengejar. Ia lari tunggang langgang dengan segenap kekuatannya. Meskipun perut lapar dan badan yang lemas ia masih terus menghindari kejaran warga.
Hingga ia sampai perempatan jalan dan ia mengambil jalan pintas yang mengelabui warga. Daerah itu sudah ia hapalkan sebelumnya. Ia lantas bersembunyi dibalik pagar sebuah rumah tua. Para warga kebingungan mencarinya. Setelah menunggu agak lama rupanya warga sudah membubarkan diri karena kesal tidak bisa menemukannya. Ia pun senang hatinya karena merasa telah membawa uang yang akan digunakan ibunya untuk berbelanja. Ia tidak sadar bahwa hal ini akan membuat hati ibunya tersakiti.
Saat ia pulang, tak ragu-ragu ia berkata kepada ibunya bahwa hari ini ia mendapat banyak uang sambil menunjukan lembaran-lembaran uang yang menumpuk di kedua tangannya. Ibunya kaget mendengar kata-kata anaknya,
“Kamu mendapat uang ini darimana nak?”
“Sudahlah bu, tidak penting darimana asalnya. Yang penting sekarang ibu punya uang banyak untuk berbelanja.”
“Ibu tidak akan menerima uang ini sebelum kamu mengatakan darimana asalnya.”
Ia berpikir, seharusnya ibunya senang mendapat banyak uang. Tetapi yang terjadi justru kebalikannya. Apa yang sebenarnya ibunya inginkan? Bukankah dengan uang ini ibu dapat berbelanja sebanyak yang ibu mau? Bukankah ibu dapat membeli barang-barang dapur yang sudah mulai usang dan rusak?
Ia hanya bisa mengembalikan uang itu kedalam tas hitam. Tanpa ekspresi. Dan usaha untuk membahagiakan ibunya gagal. Kemudian ibunya berkata sesuatu,
“Nak, ibu mau lihat uang itu. Bisa ibu lihat semuanya?”
Ia kaget mendengar perkataan ibunya. Lalu ia memberikan semua uang beserta tas hitam.
“Nak, ibu memang senang bila kita punya uang banyak, tapi tidak seperti ini caranya. Ini namanya maling, jambret. Kita memang miskin, tapi bukan berarti kita menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Keluar dari rumah ini. Ibu tidak punya anak seorang penjahat.”
Mendengar kata-kata itu, ia lari keluar rumah dan pergi menghilang.
Ibunya menangis melihat anaknya berlari keluar rumah. Tapi ini merupakan konsekuensi terhadap perilaku anaknya. Kenapa anaknya bisa melakukan hal yang jelas-jelas salah dan melanggar hukum. Ini tindakan kriminal. Hanya saja, ibu tidak akan melaporkan anaknya sendiri ke pihak berwajib. Ibunya masih punya rasa iba terhadap anaknya.
Ia terduduk di salah satu pelataran rumah kosong. Ia meratapi nasibnya yang kini telah di usir oleh ibunya. Entah kenapa ia masih belum menyadari kesalahannya. Masih saja menganggap bahwa peilakunya benar walaupun harus mengambil barang milik orang lain, mungkin diperlukan perenungan yang panjang untuk bisa mengerti bahwa perilakunya salah dan tidak bisa ditolerir oleh ibunya.
Ia masih saja duduk tertunduk hingga sore hari. Hingga ia terkejut mendengar orang berteriak sambil berlari kearahnya. Orang itu berperawakan tinggi besar dengan lengan bertato. Tiba-tiba memegang lengannya lantas menarik kearah orang itu sambil orang itu berkata dengan nada berapi-api,
“Hei, kenapa kau tidak mengamen hari ini! Mana setoranmu?”
“Tidak bang, aku tidak bisa hari ini.”
“Banyak alasan kau, kau tidak tahu siapa yang menguasai daerah ini? Kamu harus setor setiap hari. Tidak ada alasan lagi.
“Iya bang, yang menguasai disini kan abang. Tapi aku tidak ada uang sama sekali”
“Banyak omong juga kau anak kecil!”
Sebuah pukulan telak mendarat diperutnya, seketika itu ia roboh. Namun, orang itu masih menendang tubuhnya yang kecil itu. Setelah puas, orang itu pergi dengan tersenyum kecil.
Anak kecil itu hanya bisa memegangi perutnya yang terasa sakit. Tek terasa darah keluar dari mulutnya membasahi bibirnya yang kering. Ia mencoba bangkit dan berjalan. Entah kemana ia harus melangkah. Sampai diujung jalan ketika hendak berbelok ke arah rumahnya ia dibanting oleh seseorang yang datang dari arah belakang. Entah siapa itu namun lagi-lagi tubuhnya terhempas ke tanah. Sebelum ia sempat menengok untuk melihat wajahnya, orang itu sudah berteriak
“ini maling tadi siang, bajunya sama dan orangnya juga sama. Ayo kita tangkap.”
“Ayo... tangkap lalu pukuli.” Suara itu datang dari orang lain yang datang mendekat.
Ia kini sudah dikepung oleh belasan orang yang memasang muka marah dan kesal. Ia ketakutan karena kerumunan itu seakan-akan bernafsu menghabisi nyawanya. Ia menyesal akan kelakuannya tadi siang, ia sadar bahwa kelakuannya itu berbuntut panjang. Ia tidak ingin mati karena saat ini ia ingin meminta maaf kepada ibunya. Ketika kerumunan orang itu mendekat dan akan memukulkan tongkat pada tubuhnya, ada suara seorang yang sangat familier, ternyata itu suara ibunya.
“Tunggu bapak-bapak, jangan main hakim sendiri. Ini anak saya.” Sambil memeluk tubuh anaknya.
“Maafkan kelakuan anak saya, ia tidak bermaksud jahat, ia hanya ingin memberikan banyak uang pada saya. Jangan dipukuli lagi.”
“Jangan dilindungi maling seperti ini, ia harus merasakan akibat perbuatannya. Benar tidak bapak-bapak?”
“Benar!”
“Saya mohon jangan pukuli lagi.”
Dalam hati, anak kecil itu menangis. Mengapa selama ini ia tidak sadar kasih sayang ibunya yang teramat besar untuknya? Sedangkan yang ia lakukan malah selalu merepotkan dan membuat masalah.
“Bu, aku pantas mendapat semua ini. Ibu jangan melindungi saya. Biar saya yang menanggung ini semua.”
Ia bangkit dari dekapan ibunya lantas berbicara kepada kerumunan orang itu,
“Saya tidak akan lari, silahkan tangkap saya. Dan serahkan ke pihak yang berwajib. Saya akan bertanggung jawab dengan apa yang saya lakukan.” Kemudian ia menoleh kepada ibunya dan berkata,
“Bu, maafkan aku. Dan tolong nanti kembalikan uang dalam tas hitam tadi kepada pemiliknya.”
Bersamaan dengan perkataan anaknya terdebut, ibu itu menangis mengingat anaknya telah sadar dengan apa yang diperbuatnya.
Orang-orang itupun bersama-sama menggiring anak kecil itu ke kantor polisi. Ibu itu masih menunduk mengingat kejadian hari ini. Walaupun sedih, namun ia bangga terhadap anaknya yang telah mengakui perbuatannya dan akan bertanggung jawab. Meski anaknya seorang pencuri namun tindakan itu adalah tindakan untuk membahagiakan dirinya. Hanya saja, anaknya memilih jalan yang salah. (RAR)
Sekian edisi kempong kali ini, edisi selanjutnya mungkin akan di "isi" oleh artikel Tika yang pastinya sdh disiapkan oleh The Dark knight dan The white prince. Maaf atas segala kekurangan dan kesalahan penulisan pada setiap artikel yang kami posting, karena kesalahan merupakan sifat yang lekat dengan manusia. Selalu jaga kondisi badan kalian karena kesehatan merupakan aset yang berharga. Bye...Bye....
0 komentar:
Posting Komentar