Karena saya masih belum berkesempatan untuk mewawancarai Tanti, update kali ini kembali kami tampilkan cerpen. kalau sebelumnya cerpennya white prince yang berjudul Gitar Kecil, kali ini giliran cerpennya The Dark Knight. Silakan dinikmati update kali ini
Saat Bahagiaku
Saya wanita karier berusia 32 tahun. Beberapa tahun
terakhir ini saya memiliki masalah yang saya sendiri tak tahu sampai kapan
harus menghadapinya. Sebagai wanita single
di usia 32 tahun, hampir tiap minggu ibu menelepon, menanyakan apakah saya
sudah punya calon untuk dikenalkan atau belum. Kadang saya sampai djodohkan
dengan laki-laki, anak dari teman ibu saya. Tapi entah kenapa saya merasa belum
menemukan laki-laki yang cocok. Bu Herlin, tolong berikan solusi untuk masalah
saya ini... Apakah memang saya yang terlalu pilih-pilih ataukah memang saya ini
terlalu pasif? Terima kasih.
Ranti menutup majalah di tangannya segera setelah membaca
suratnya yang dimuat dalam majalah tersebut. “Kenapa tidak dibaca jawabannya?”
ujar sahabat Ranti, Pipit, yang duduk di sebelahnya. “Aku takut membaca jawaban
dari bu Herlin, Pit...” ujar Ranti sambil memegang lengan Pipit. “Buat apa kamu
ngirim surat ke majalah ini kalau tidak ingin mendengar jawaban konsultasimu?” ujar Pipit pelan,
sambil membuka majalah yang ada di tangan Ranti. Akhirnya, Ranti dan Pipit
membaca solusi yang ditawarkan oleh bu Herlin terhadap masalah Ranti. “Intinya,
kamu harus membuka diri dan memberi kesempatan” Pipit membaca keras-keras solusi
yang tertulis dalam majalah tersebut. “Membuka kesempatan bagaimana? Sejak
mulai bekerja di SMA delapan tahun yang lalu, aku sudah mencoba menjalin
hubungan dengan beberapa laki-laki, tapi kau tahu sendiri, kan? Aku selalu
dicampakkan. Mau cari calon di tempat kerja juga enggak bisa, kebanyakan rekan
kerjaku kan sudah tua semua. Yang masih muda atau seumuran denganku, semuanya
sudah nikah” ujar Ranti membela diri. “Ya sudah, pacaran sama muridmu saja.
Lumayan, kan banyak brondong di tempat kerjamu. Ah, kalau aku bisa milih, aku
juga pengen jadi guru sepertimu. Membosankan sekali bekerja kantoran seperti
yang kujalani ini” ujar Pipit enteng. “Mana mungkin guru pacaran sama muridnya
sendiri? Di SMA, meskipun banyak murid laki-laki yang ngefans denganku, aku tak akan pernah melewati batas. Ok? Lagipula,
aku ingin hubungan yang serius. Ibuku di kampung sudah ngebet banget pengen
punya cucu. Ah, aku sendiri jadi ikutan bingung” ujar Ranti panjang lebar.
“Lebaran tahun ini pasti kamu akan dikenalin lagi sama laki-laki pilihan ibumu.
Hahahaha...” Pipit tertawa sambil memasang wajah lucu. “Kamu sih enak, sudah
punya suami, anak sudah dua. Sekarang hidupmu sudah lengkap. Sedangkan aku? Aku
juga enggak mau jadi perawan tua seumur hidup” Ranti memutar-mutar kedua bola
matanya.
Lebaran pun tiba, Ranti pulang kampung, disana seperti
yang sudah lalu-lalu, ia kembali akan dijodohkan dengan laki-laki pilihan
ibunya. Dalam acara silaturahmi ke rumah sang calon laki-laki, Ranti memasang
wajah masam agar ia bisa membuat kesan pertemuan pertama dengan calon yang
dijodohkannya menjadi jelek. Ranti dan keluarganya segera duduk di ruang tamu.
“Ndok, tolong bantu Said bikin minum
di belakang” ujar ibu Ranti sambil mendorong-dorong tubuh Ranti. Ibu dan Bapak
Said tersenyum melihat Ranti. “Cantik, tidak kelihatan seperti 32 tahun, kok”
ujar Bapak Said yang kemudian tiba-tiba dicubit oleh ibu Said. Ranti tidak
mempedulikan kata-kata yang ia dengar, ia segera berjalan ke dapur rumah itu,
dan tampak seorang laki-laki yang sedang mengaduk minuman. Punggungnya besar,
perawakannya kekar, tinggi, tapi langsing. Ranti menelan ludah, ia belum pernah
dijodohkan dengan laki-laki berperawakan sekeren itu sebelumnya. “Ah” tiba-tiba
laki-laki itu menyadari kehadiran Ranti, ia menoleh ke belakang. “Subhanallah..” Ranti ternganga, tak
menyangka laki-laki yang akan dijodohkan denganya adalah laki-laki yang sangat
tampan. “Padahal ibu dan bapaknya Said perawakannya kecil, juga jelek, tapi
anaknya ganteng banget” pikir Ranti dalam hati. “Ranti, ya?” ujar Said
tersenyum ramah. Dada Ranti sesak, perutnya mual, hatinya berbunga-bunga. Cinta
pada pandangan pertama telah terbukti pada Ranti, kini ia merasakannya. “Tolong
bantu..” Said memberikan isyarat dengan matanya, meminta Ranti untuk
membantunya membawakan nampan berisi toples makanan. “Ah, iya” ujar Ranti salah
tingkah. Keduanya pun segera memasuki ruang tamu. Untuk beberapa saat selama
orang tua mereka saling bercakap-cakap dan memuji kelebihan anak mereka
masing-masing, Ranti dan Said terus tersenyum, saling berbagi pandang. “Ranti,
kamu mau enggak?” tanya ibu Ranti dengan nada menggoda. “Iya, mau” jawab Ranti
cepat, kemudian ia segera menunduk karena malu. Ayah dan Ibu Said tertawa
melihat reaksi Ranti. Diam-diam Ranti mencuri pandang ke arah Said, laki-laki
itu tersenyum padanya, senyuman yang cukup untuk membuat Ranti menyetujui
perjodohan ini.
Tidak sia-sia Ranti menabung selama ini, pernikahan yang
ia idam-idamkan akhirnya terwujud. Keluarga kedua belah pihak benar-benar akrab
satu sama lain. Teman-teman Ranti dan Said bergantian memberikan ucapan
selamat. Pernikahan hari itu merupakan momen paling indah dalam kehidupan
Ranti. Kini, keduanya berada di dalam kamar, waktunya malam pertama mereka.
“Mulai saat ini, panggil aku akang ya, nanti aku akan panggil Ranti, eneng”
ujar Said manis. Ranti tersipu malu dan menutupi wajahnya dengan bantal. “Jangan
ditutupi, akang tidak bisa melihat wajah neng” ujar Said sambil menarik bantal
dari wajah Ranti. “Akang, kita baru bertunangan 2 bulan, apa akang tidak
menyesal sekarang sudah memperistri Ranti? Mungkin akang belum tahu
kejelekan-kejelekan eneng...” ujar Ranti dengan suara manja. “Sejak akang
pertama kali bertemu dengan Ranti, hati akang sudah terperangkap dalam
jaring-jaring cinta eneng” Said tertawa. “Ah, serius dong, akang” ujar Ranti
bersemu merah. “Akang yakin dengan Ranti, maka dari itu akang memperistri
Ranti. Memang kenapa? Eneng tidak mencintai akang, ya?” ujar said dengan nada
menggoda. “Ranti cinta sekali sama akang, apalagi setelah Ranti tahu kalau
profesi akang juga sama seperti eneng, sama-sama guru” Ranti tersenyum. “Apa
karena akang guru olahraga, jadi Ranti makin suka? Ini perut akang akan tetep
six-pack kok meskipun enggak jadi guru olahraga” Said memamerkan perut six-packnya. “Ah, akang, jangan” ujar
Ranti malu-malu. “jangan malu-malu gitu, ayo...” perlahan-lahan Said mendekati
Ranti kemudian malam pertama keduanya menjadi malam paling tak terlupakan dalam
hidup Ranti.
“Hebat ya, kamu... Meskipun suamimu lebih muda 5 tahun
darimu, tapi kamu bisa mengacuhkan
berbagai omongan negatif disekitarmu” ujar Pipit sambil meminum es buahnya.
“Sudah umur segini, buat apa aku memikirkan omongan orang lain, aku kan sudah
segini tuanya” ujar Ranti santai. “Lalu apa yang mau kautanyakan padaku? Sampai
pagi-pagi sudah menyuruhku datang ke rumahmu” tanya Pipit penasaran. “Pit, aku
takut kalau sudah tidak bisa hamil? Bagaimana kalau masa kesuburanku sudah
lewat?” ujar Ranti serius. “Ah, itu hanya pikiranmu. Belum juga sebulan kamu
menikah, kok sudah berpikir macam-macam seperti itu” ujar Pipit dengan wajah
datar. “Tiap habis bercinta dengan kang Said, kadang aku merasa emosional, apa
aku sudah bisa memuaskan pasanganku, apa aku segera bisa punya bayi, dan banyak
hal lagi yang kupikirkan” ujar Ranti memulai curhatnya. “Itu normal kok, setiap
wanita pasti akan merasa emosional tiap kali habis bercinta dengan pasangannya.
Lalu kenapa kau sampai berpikir bahwa dirimu tidak bisa hamil?” tanya Pipit
santai. “Tiap kali habis bercinta, kenapa perutku sakit, ya? Bahkan sempat
beberapa kali kemaluanku berdarah” ujar Ranti dengan suara lebih pelan.
“Perutmu sakit karena habis ditekan berkali-kali oleh suamimu. Paham kan,
maksudku? Kalau bukan itu, ya mungkin karena sebentar lagi kamu akan datang
bulan, jadi terasa sakit. Kalau soal berdarah, sepertinya itu normal, dulu aku
juga mengalaminya, itu karena kamu masih perawan. Hahaha...” Pipit tertawa
keras, wajah Ranti merah padam. “Sudah setua ini, aku tidak tahu harus cerita
sama siapa lagi selain dirimu. Terima kasih, ya...” ujar Ranti senang. “Kenapa
tidak cerita padaku?” tiba-tiba terdengar suara dari belakang Ranti. Ia menoleh
dan tampak Said berdiri di depannya. “Akang sudah bangun, ya? Biasanya kalau weekend kan akang bangunnya siang” ujar
Ranti kehilangan kata-kata. “Aku enggak ikutan” ujar Pipit sambil menyingkir
dari pasangan suami istri tersebut.
“Maaf ya kang, aku malu kalau cerita sama akang. Tapi
sekarang kita tak perlu ke dokter kok, eneng baik-baik saja” ujar Ranti sambil
menarik lengan suaminya. Keduanya berjalan dari parkiran menuju rumah sakit.
“Tidak apa-apa, katamu kan berdarah, lebih baik diperiksakan saja, toh tidak
ada ruginya” ujar Said ramah. Akhirnya keduanya mengunjungi dokter, dan setelah
diperiksa ternyata Ranti baik-baik saja. Keduanya kini sudah kembali ke rumah,
mereka duduk sambil menonton tv di ruang keluarga. “Kang, maaf ya, tiap kali
kita lagi gituan, pasti Ranti kelepasan kentut” ujar Ranti tiba-tiba, wajahnya
bersemu merah. Said mencoba menahan tawanya, tapi wajahnya yang kemerahan membuat
Ranti makin malu. “Tidak apa-apa, sudah, tidak perlu kamu pikirkan. Nah begitu
dong, kalau ada ganjalan di hati, utarakan saja. Eneng lucu sekali kalau
malu-malu begitu” Said pun tak bisa menahan tawanya lagi, ia tertawa sambil
menggelitiki tubuh Ranti. “Oh iya, ada satu lagi yang mau Ranti tanyakan” ujar
Ranti geli. “Apa, neng?” Said mendekatkan wajahnya pada wajah Ranti. “Apa tiap
kali bercinta, anunya eneng mengeluarkan aroma yang menyengat?” ucap Ranti
malu-malu, tak berani melihat wajah suaminya. Said kembali tertawa. “Ah, eneng
ini, sudahlah neng, hal-hal seperti itu tidak perlu dipikirkan. Kalau ada yang
salah, pasti akan akang beritahukan pada eneng. Tidak menyengat kok, wangi
malah” Said tertawa makin keras. “Eneng nanya serius” ujar Ranti sambil
mencubiti suaminya.
“Tumben kamu mau belajar masak” ujar Pipit sambil merapikan
meja makan. “Sudah matang, harus dicoba lho Pit, masakan yang kubuat ini” ujar
Ranti setengah memaksa. “Aku diminta jadi kelinci percobaan nih, ceritanya?”
ujar Pipit sambil tertawa. “Kan kamu gurunya, kamu juga harus menilai
masakanku, dong” ujar Ranti sambil menghidangkan makanan di atas meja. “Ah,
tahu begini kenapa kamu enggak belajar masak dari dulu?” ujar Pipit
menyesalkan. “Meskipun umurku sudah kepala tiga, enggak ada kata terlambat
untuk belajar, kan? Dulu kan aku hidup sendiri, sekarang beda” ucap Ranti
sambil memandangi Pipit yang mulai memakan masakannya. “Dulu sih lebih suka
beli makan, karena aku enggak mau repot masak, tapi sekarang di rumah kan sudah
menunggu orang yang tiap hari harus kumasakin. Setidaknya aku ingin berusaha
jadi istri yang baik buat kang Said” ujar Ranti dengan mata berbinar-binar.
“Ya, masakanmu lumayan. Ini sudah bisa dibilang lumayan. Belum enak benar sih,
tapi untuk ukuran pemula sepertimu, sudah lumayan” Pipit memuji masakan Ranti.
“Ah, yang bener?” Ranti segera mencicipi masakan buatannya sendiri.
“Beneran kamu mau masak?” ujar Said dengan wajah ragu.
“Ah, jangan pasang muka seperti itu dong, kang... Jangan khawatir, masakanku
pasti enak” ujar Ranti percaya diri. “Iya, iya, akang percaya” ujar Said sambil
berlalu pergi. “Akang mau kemana?” tanya Ranti dari dapur. “Aku di teras, mau
ngganti oli motor” ujar Said dari luar rumah. Akhirnya, Ranti pun mulai
memasak. Ia menerapkan ilmu yang sudah ia pelajari dari Pipit. Ranti memasak
resep yang sudah ia praktekan bersama Pipit, yaitu membuat sayur bayam dan
tempe. “Resep sederhana seperti ini aku harus bisa” ujar Ranti memberi semangat
pada dirinya sendiri. Selama beberapa saat Ranti cukup sibuk di dapur, hingga
akhirnya masakannya pun telah matang. Ranti bergegas keluar rumah. Ia
mencari-cari suaminya tapi tak nampak batang hidungnya. “Kang Said... Kang
Said...” Ranti mencari-cari suaminya ke dalam rumah. Tiba-tiba terdengar suara
air dari dalam kamarnya. Ranti segera memasuki kamarnya dan melihat kedalam
kamar mandi. Tampak Suaminya sedang menghidupkan air untuk mandi. Ranti tampak
terkejut, oli motor ternyata melumuri tubuh suaminya, hingga baunya pun
menyengat di hidungnya. “Ranti?” Said tersenyum melihat Ranti yang berada di
hadapannya. “Akang... Masakannya sudah matang” ujar Ranti pelan, masih terkejut
dengan penampilan suaminya yang berlumur oli. “Setelah selesai mengisi oli pada
motor, tanpa sengaja olinya tumpah ke tubuh akang” ujar Said sambil melepas
bajunya. “Ooh, begitu..” ujar Ranti pelan, matanya menatap perut six-pack suaminya. “Tadi kamu
memanggil-manggil akang, ya? Maaf, akang tadi langsung ke kamar, awalnya mau
ganti baju saja, eh ternyata tumpah ke seluruh badan akang” ujar Said sambil
memandangi tubuhnya yang berlumur oli. “Jadi akang lebih baik mandi saja
sekalian, dan waktu menghidupkan shower,
akang tidak mendengar suara eneng” ujar Said yang mulai sadar kalau Ranti terus
memelototi tubuhnya. “Ya sudah, kang. Eneng tunggu di meja makan, ya” Ranti
menelan ludah sambil tersipu malu daritadi melihat tubuh suaminya yang berlumuran oli, seksi sekali pikir Ranti yang tiba-tiba berpikiran yang bukan-bukan. “Kenapa?” tanya Said dengan suara manja, perlahan-lahan
melepaskan celananya. Ranti diam saja, ia tampak gugup melihat suaminya. Said
berjalan mendekati Ranti, ia tersenyum, kemudian berbisik di telinga Ranti,
“Ayo, gabung sama akang saja” ujar Said pelan. Ranti menelan ludah, kemudian
tanpa ia sadari, ia ikut masuk ke dalam kamar mandi. Said menatap istrinya
tajam. “Ranti, kamu adalah anugerah terindah yang pernah aku miliki. Aku
mencintaimu” ujar Said dengan tatapan tajam. Ranti terdiam, kemudian tak kuasa
lagi menahan dirinya, ia mencium suaminya, kemudian sepasang suami istri itu
pun menikmati momen indah bersama.
“Masakannya enak.” ujar Said memuji masakan istrinya.
“Sudah kubilang, kan?” ujar Ranti dengan wajah senang, sambil mengambil sesuatu
dari saku celananya. “Kang, eneng ada kabar gembira” ujar Ranti sambil menunjukkan
sesuatu pada suaminya. Said terdiam melihat tespen yang dipegang Ranti, tampak
dua garis dalam tespen tersebut. “Kang, eneng hamil” ujar Ranti bahagia.
“Alhamdulillah” Said segera beranjak dari kursinya kemudian berdiri disamping
istrinya. “Akang akan jadi ayah??” ujar Said terharu. “Iya, kang” Ranti
menangis haru, ia berdiri dan memeluk suaminya. “Terima kasih Neng, Akang
senang sekali” Said mendekap Ranti lebih erat. “Tak sia-sia Ranti sendirian
hingga berumur 32 tahun, karena Tuhan telah menuliskan takdir indah kepada
Ranti, yaitu bertemu dengan akang Said. Eneng senang sekali bisa menjadi istri
kang Said” ujar Ranti berurai air mata. “Tuhan membuat eneng sendirian hingga
berumur 32 tahun karena memang tuhan ingin eneng menunggu akang. Eneng Ranti adalah
takdir akang” ujar Said tersenyum bahagia. “Aku mencintaimu, Kang” ujar Ranti
tertawa bahagia. “Aku juga mencintaimu” Said memeluk istrinya makin erat.
Keduanya pun terus tertawa bahagia, menikmati momen indah itu, berharap agar
setiap hari selalu mereka lalui seperti itu, kehidupan pernikahan yang bahagia.
cerpen yg bagus, dg happy ending
BalasHapustapi sejujurnya saat ini aku berharap ada bad klimaksnya, dimana si Said ternyata mengidap penyakit kronis, umurnya ttgl 2 tahun
atau ternyata said itu ternyata biseks, yg selain suka cew, jg suka cowo, dan akhirnya Ranti mengetahui itu saat memergoki said sedang in the hoy dg suaminya Pipit, wkwkwkwk
overall, aku suka cerpennya
ceritanya mengalun luwes bak aliran air. Padahal aku menunggu twist-nya. Ya, mungkin next cerpen. Good job, and kalau punya cerpen lagi sering-sering sharing dimari cup.
BalasHapus