Hmmm.... Sebenarnya edisi final untuk Rempongs on the Week udah selesai, tapi berhubung editor (baca: White Prince) sedang pulang kampung, jadinya tertunda hingga kurang lebih 2 minggu. Tapi ya sudahlah.. Untuk menemani liburan para pembaca, The Dark Knight menghadirkan cerita dari salah satu kota, eh bukan, maksudku salah satu daerah (bagian dari Brebes). Ya, rumahnya White Prince.. Ok, langsung aja.. Silakan menikmati
Perjalanan Dari Mataram
Diawali dari mangkatnya Raden Mas
Rangsang yang bergelar Panembahan Agung Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman atau
yang masyhur disebut dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma pada tahun 1645, tepat
enam tahun setelah berhasil menaklukan Blambangan tahun 1939. Sultan Agung
telah berhasil melakukan ekspansi ke deluruh daerah di Jawa dan Madura (kecuali
Banten dan Batavia) dan beberapa daerah luar Pulau Jawa,
seperti ; Palembang, Jambi dan Banjarmasin. Mangkatnya Sultan Agung membuat
sang putra mahkota Pangeran Arum didaulat untuk memimpin Mataram, dengan gelar
Sunan Amangkurat I. Sejak kepemimpinannya, wilayah Mataram berangsur-angsur
menyempit karena aneksasi yang dilakukan oleh Belanda. Perpecahan tersebut
disamping atas peran Belanda, juga akibat adanya kegusaran masyarakat atas
ekspansi yang dilakukan oleh Mataram yang menjelang mangkatnya Sultan Agung.
Pemberontakan-pemberontakan terhadap kekuasaan raja banyak dilakukan, antara
lain dari ; keturunan Sunan Tembayat, keturunan Kadilangu, Wangsa Kajoran,
keturunan Panembahan Rama dan Panembahan Giri.
Atas gencarnya aksi pemberontakan tersebut, mengakibatkan posisi Sunan
Amangkurat I terpojok (yang dalam versi ini diindikasikan menjalin kerjasama
dengan VOC - Verenidge Indische Oast Compagnie, sebuah organisasi
monopoli perdagangan milik Belanda di Batavia) sehingga ia berinisiatif untuk
menyelamatkan diri dan hendak meminta bala bantuan kepada Gubernur Jenderal De
Cock.
Penamaan Ajibarang
Perjalanan Sunan Amangkurat I
dikawal para prajurit keratin dengan mengambil route perjalanan
Kedu-Banyumas-Tegal untuk kemudian singgah di Kadipaten Carbon atau Caruban
atau Cirebon. Singkat cerita, sesampainya di suatu daerah barat Banyumas,
Rombongan Gusti Sunan kehabisan perbekalan. Kemasygulannya bertambah setelah ia
harus menerima kenyataan bahwa ia harus kehilangan puluhan prajuritnya yang mati akibat jarak tempuh perjalanan secara infanteri dengan medan yang berat dan
sangat jauh.
Di daerah tersebut, abdi setia Sunan
Amangkurat I, bernama Kyai Pancurawis yang juga bertindak sebagai sais kereta
kencananya, kemudian berusaha menjual barang-barang bawaan yang masih tersisa
demi untuk kemudian ditukar atau dibelikan kembali dengan bahan-bahan makanan
pokok sebagai perbekalan untuk meneruskan perjalanan yang masih jauh. Usaha
Kyai Pancurawis beserta para Ponggawanya ternyata berhasil. Baik barang yang
memiliki nilai jual tinggi ataupun rendah semuanya terjual dan tertukar habis
sehingga berhasil mendapatkan perbekalan yang dikehendaki.
Bukan main senangn ya hati Gusti
Sunan melihat usaha abdi-abdinya. Sebagai wujud rasa syukurnya, ia menamakan
daerah tersebut dengan AJIBARANG, yang berarti barang apapun yang dijual
didaerah tersebut “ana ajine” atau ada harganya.
Legenda Paguyangan
Perjalanan kembali dilanjutkan. Kali
ini kembali Gusti Sunan harus menelan pil pahit. Betapa tidak, kuda penarik
kereta kencananya mendadak jatuh tersungkur terkulai tak berdaya. Berbagai cara
ia lakukan untuk dapat mengembalikan kondisi kudanya. Hal tersebut terutama
dilakukan oleh Kyai Pancurawis, dimana Kyai Pancurawis terkenal sebagai abdi
keraton yang memiliki daya linuwih yang cukup tinggi. Di tengah suasana
keprihatinan itu, Gusti Sunan beserta rombongannya beristirahat sembari
menunggu hasil laku tapa yang dilakukan oleh Kyai Pancurawis di sebuah tempat
petilasan Senopati Linduaji (yang dulu pernah menjadi spionase ayahanda nya,
Sultan Agung). Tempat tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Curug Pereng
dekat mata air Kali Pemali Desa Winduaji Kecamatan Paguyangan. Sementara tempat
peristirahatan Sunan Amangkurat I di kawasan tersebut sekarang dikenal dengan
nama Desa Pesanggahan (yang berarti tempat singgah ; sanggrah).
Dari petunjuk yang dihasilkan dari
laku tapa tersebut, Kyai Pancurawis mendapatkan perintah supaya ia mengambil
air yang berasal dari sebuah sendang (danau) di lereng Gunung Slamet yang
dihuni oleh makhluk air jejaden (jejadian) jelmaan ponggawa Nyai Roro kidul.
Segeralah Kyai Pancurawis terhenyak dari laku semedinya, untuk kemudian mencari
tempat yang dimaksud. Cukup lama ia mencarinya, akhirnya ditemukanlah tempat
yang ia tuju. Sebuah sendang di tempat yang sangat sejuk yang sekarang dikenal
oleh masyarakat dengan sebutan TELAGA RANJENG, dengan jutaan ikan lele sebagai
penghuninya.
Kyai Pancurawis menerima petunjuk,
jika air yang berasal dari sendang tersebut kemudian dapat disiramkan ke
sekujur tubuh kuda penarik kereta kencana Gusti Kanjeng Sunan Amangkurat I yang
dalam kondisi sekarat. Hasilnya ternyata sungguh mengejutkan, setelah sekujur
tubuh kuda itu basah terkena siraman air Telaga Ranjeng, secara
berangsur-angsur namun dalam waktu yang cukup singkat, kuda itu dapat pulih
seperti sedia kala. Atas keberhasilan usaha Sang Sais, Gusti Sunan berujar, “Tempat
ini aku namakan PAGUYANGAN, dan aku yakin kalau tempat ini tidak akan
kekurangan air sampai kapanpun sebagai sumber kehidupan masyarakatnya kelak.”
Di tengah kegembiraan sumringah
wajah Gusti Sunan, terdengar helaan berat nafas Kyai Pancurawis yang masih
berfikir tentang adanya pantangan bagi kuda kesayangannya itu. Dalam petunjuk
yang ia terima, jika kuda itu telah pulih, maka hal yang tidak boleh ia lakukan
adalah menginjak bambu kering. Jika pantangan itu terlanggar, maka tak ayal
lagi kematian yang akan menimpa kuda tersebut.
Tibalah di suatu tempat dimana
kejadian yang tidak diinginkan kembali terjadi. Dalam perjalanan berikut nya,
secara tiba-tiba kereta kencana terangkat ke atas sampai hampir menjatuhkan
Sunan Amangkurat I. Seekor ular besar tampak berada di depan kereta kencana.
Sontak saja, kuda penarik mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Dengan tenang, Kyai
Pancurawis mencoba menenangkan gelisah dan ketakutan si kuda. Diambilnyalah
sebuah bambu kering yang digunakan untuk mengusir ular yang menghadangnya.
Tampak si ular tak kuasa menghadapi kekuatan batin Kyai Pancurawis, sehingga ia
terpaksa harus meninggalkan mangsanya. Kepergian ular itu membuat tenang
perasaan seluruh rombongan tak terkecuali Kyai Pancurawis dan kuda
kesayangannya. Dibuangnyalah bambu kuning pengusir ular tadi, namun tak disangka
dan tak dinyana, Kyai Pancurawis tak menyadari jika kudanya menginjak bambu
kuning yang ia buang di hadapan kereta kencana Gusti Sunan sehingga
mengeluarkan bunyi “kre..tek !”. (tempat tersebut kemudian dinamakan Desa
KRETEK).
Suara angin menderu dan membahana seolah memecah keheningan rombongan Sunan
Amangkurat I. Ia dan rombongannya merasa seolah-olah ada yang sedang memburunya
dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Lari secepat kilat adalah pilihan terbaik
yang dapat dilakukan rombongan saat itu, sehingga tempat berlarinya rombongan
tersebut oleh masyarakat sekarang dikenal dengan nama PAGOJENGAN, berasal dari
kata “nggojeng” yang berarti ; berlari cepat.
Bumiayu ; Mitos dan Legenda Nyai Rantansari
Sunan Amangkurat I dan wadya balanya
memasuki suatu wilayah, dimana ia dan rombongannya dihadapkan pada suatu
kejadian yang amat serius dan sangat membingungkan. Hal ini terjadi setelah
rombongan masuk sebuah desa bernama “DAHA”. Tanpa sebab
musabab yang jelas, mendadak kuda penarik kereta kencana yang tidak lama telah
melewati masa kritis, tiba-t iba terkulai lemas dan mati.
Bukan main sedihnya hati Gusti
Sunan, terlebih Kyai Pancurawis yang merasa telah menyatu dengan kuda tersebut.
Beberapa prajuritnya juga hilang tak berbekas seperti lenyap ditelan bumi.
Dengan penuh rasa haru, dikuburkannyalah kuda itu di suatu tempat yang sekarang
bernama KARANGJATI. Agak lama Gusti Sunan dan rombongan
berada di tempat tersebut. Ia telah mengalami beberapa peristiwa yang
mengguncangkan hatinya. Ia sadar, jika ia telah lalai dalam menjalankan amanat
sebagai Sultan Mataram sesuai dengan pesan dan petuah ayahanda dan kerabat
keluarga kasultanan Mataram. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Allah
SWT dan prajurit-prajurit yang masih setia ke padanya. Begitu mendalam pula
kesedihan yang dialami Kyai Pancurawis, yang kemudian ia meminta izin kepada
Sunan Amangkurat I untuk diperkenankan tetap tinggal di Karangjati mengurus
kuburan kuda kesayangannya sampai ajal menjemputnya.
Walhasil dengan tidak ikut sertanya Kyai Pancurawis menemaninya melanjutkan
perjalanan, maka Gusti
Sunan pun menjadi tidak memiliki sem
angat. Satu-satunya harapan yang sekarang ia miliki hanyalah bertemu dengan
seseorang yang dapat mengobati kegundahan hatinya dan meluruskan langkah
kehidupannya. S esaat ia memandang sekeliling, tampak di pelupuk matanya Gunung
Slamet yang menjulang tinggi ke angkasa, didampingi pebukitan yang setia
menemani keperkasaannya. Sementara lerengnya, terhampar area pesawahan yang
merupakan panorama keindahan alam sangat luar biasa. Sebuah wilayah yang masih
dalam kekuasaan pemerintahannya di Mataram dengan masyarakat yang ramah dan
religius, begitu pikirnya. Decak kagumnya, mengundang hasratnya untuk
memberikan nama wilayah ini dengan nama BUMIAYU.
Di Bumiayu inilah Sunan Amangkurat
kemudian bertemu dengan sosok wanita jelita yang memikat hatinya. Ia berusaha
menghampiri wanita itu, namun semakin cepat ia berusaha meraihnya semakin cepat
pula wanita itu lenyap dari pandangan matanya. Sampailah Gusti Sunan di sebuah
tempat dimana ia melihat wanita itu masuk dan hilang tak berbekas. Betapa
terkejutnya Gusti Sunan, ketika secara tiba-tiba muncul suara tanpa rupa yang
menasehatinya supaya selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dan untuk
memperolehnya ia harus terus berjalan ke utara bukan ke barat. Di bawah pohon
beringin besar ia tertunduk lesu sembari menyadari kealpaannya selama ini.
Tempat tersebut kini bernama Dukuh Kramat (yang berarti Kramat ; Wingit atau
angker) dan terdapat CANDI KRAMAT yang dipercaya masyarakat setempat dihuni
oleh Nyai Rantansari.
Sosok wanita ayu itu juga yang ikut memiliki peran atas penamaan Bumiayu ini.
Menurut Sunan Amangkurat I, pemberian nama Bumiayu ini memang selain memiliki
panorama alam yang sangat indah, juga karena wilayah ini “dikuasai” oleh Nyai
Rantansari yang memiliki kecantikan tiada tanding.
Ikhtitam
Cukup lama Sunan Amangkurat I berada
di wilayah Bumiayu dan sekitarnya. Singkat cerita, sampailah ia berada di suatu
tempat bernama Adiwerna. Dengan bekal ketakwaan dan silsilah darah birunya,
membuatnya menjadi panutan masyarakat sehingga ia mendapatkan gelar SUNAN TEGAL
ARUM atau SUNAN TEGALWANGI. Ia dimakamkan di Pesarean Lemah Duwur Kecamatan
Adiwerna Kabupaten Tegal. Konon, makamnya pada hari-hari tertentu mengeluarkan
bau harum, karenanya ia mendapatkan gelar Tegal Arum. Pemakamannya selalu ramai
dikunjungi para peziarah, khususnya setiap malam Selasa atau Jum’at Kliwon,
terlebih pada malam 1 Suro atau malam tanggal 1 Muharram tahun baru Islam. Para
peziarah datang dari berbagai penjuru memadati ruas-ruas jalan Slawi-Tegal
tentunya dengan berbagai macam tujuan.
Lalu selanjutnya adalah pemandian air panas yang selalu diomongkan dan dibangga-banggakan oleh White Prince, bahkan ingin mengajakku ke sana. Ya ntar kalau KKN di dekat sana Insyaallah akan kuluangkan waktu deh... Hmmm...
Pemandian Air Panas (PAP) Cipanas Buaran merupakan obyek
wisata kabupaten Brebes di wilayah selatan. Obyek wisata yang selalu ramai
dikunjungi oleh pengunjung, terutama pada musim liburan tersebut, terletak di
Desa Pangebatan, kecamatan Bantarkawung. Obyek wisata yang berlokasi 10 km ke
arah barat dari pusat kota Bumiayu ini, memiliki fasilitas seperti kolam renang
anak air hangat yang menjadi favorit pengunjung, serta sejumlah kamar mandi
dengan air panas yang sering digunakan pengunjung, juha pelampung yang
disewakan oleh warga sekitar.
Saat ini, fasilitas di PAP tersebut sudah mulai ditingkatkan, dan pengunjungpun
bertambah. Setiap hari libur sekolah, dan Hari Raya Islam, obyek wisata cipanas
Buaran sangat padat oleh pengunjung, sampai pengunjunga harus antri sampai
berjam-jam untuk mandi air panas.
Cipanas dan Tirta Husada adalah Tempat pemandian air panas untuk terapi
penyakit diantaranya penyakit pegal-pegal, rheumatik, dan juga sebagai tempat
rekreasi yang cukup nyaman apalagi waktu musim liburan datang, terletak di desa
Kedungoleng Kecamatan Paguyangan.
Air Panas Cipanas Buarana
* Lokasi : Desa Pangebatan kecamatan Bantarkawung.
* Jarak Tempuh : Dari Ibu Kota Kabupaten 70 Km dan dari Kota Bumiayu 6 Km
* Luas Kawasan : 1 Ha
* Di Bangun : Tahun 1976
* DayaTarik Wisata : Pemandangan alam pegunungan hutan pinus , Air panas yang
dapat menyembuhkan penyakit kulit , rematik dan lain lain.
* Fasilitas : Kamar mandi, penginapan ekonomi dan utama, kolam renang anak dan
mushola, warung makan dan tempat parkir.
Pemandian Air Panas Tirta Husada Kedungoleng.
* Lokasi : Desa Kedungoleng
* Jarak Tempuh : Dari Ibukota Kabupaten 75Km, Ibukota Kecamatan 6 Km, Dari Kota
Bumiayu 12 Km.
* Daya Tarik Wisata : Pemandangan Alam Pegunungan Hutan pinus , mandi air panas
yang dapat menyembuhkan penyakit kulit, rematik dan lain lain.
* Fasilitas : Kamar Mandi, tempat bermain anak anak, gasebo, tempat parkir, dan
warung makan.
Wisata Indonesia Surga Dunia
Dari : berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar