Siti, kisah bocah yatim 7 tahun penjual bakso



Siti Penjual Bakso berusia 7 Tahun membuat miris pembaca kaskus dan kompasiana dengan kisah perjuangan hidupnya. Siti orang pinggiran adalah seorang anak yatim yang harus ikut bekerja membiayai hidupnya dan ibunya dengan berjualan bakso keliling. Siti Pedagang Bakso cilik tinggal di Desa Karangkamulyan, Kec. Cihara, Kabupaten Lebak, Banten Selatan. Siti orang pinggiran yang harus kita pedulikan. Tulisan ini adalah milik seorang penulis kompasiana. Mari kita simak kisah hidup Siti Bocah Penjual Bakso

Siti Penjual Bakso berusia 7 Tahun



Siti, seorang bocah yatim yang ditinggal mati ayahnya sejak usia 2 tahun. Kini Siti berumur 7 tahun. Sehari-hari sepulang sekolah Siti masih harus berkeliling kampung menjajakan bakso. Karena ia masih anak-anak, tentu belum bisa mendorong rombong bakso. Jadi bakso dan kuahnya dimasukkan dalam termos nasi yang sebenarnya terlalu besar untuk anak seusianya. Termos seukuran itu berisi kuah tentu sangat berat.
Tangan kanan menenteng termos, tangan kiri menenteng ember plastik hitam berisi mangkok-mangkok, sendok kuah, dan peralatan lain. Dengan terseok-seok menenteng beban seberat itu, Siti harus berjalan keluar masuk kampung, terkadang jalanannya menanjak naik. Kalau ada pembeli, Siti akan meracik baksonya di mangkok yang diletakkan di lantai. Maklum ia tak punya meja. Terkadang jika ada anak yang membeli baksonya, Siti ingin bisa ikut mencicipi. Tapi ia terpaksa hanya menelan ludah, menahan keinginan itu. Setelah 4 jam berkeliling, ia mendapat upah 2000 perak saja! Kalau baksonya tak habis, upahnya hanya Rp. 1000,- saja. Lembaran seribuan lusuh berkali-kali digulung-gulungnya.



Sampai di rumah, Siti tak mendapati siapapun. Ibunya jadi buruh mencangkul lumpur di sawah milik orang lain. Tak setiap hari ia mendapat upah uang tunai. Terkadang ia hanya dijanjikan jika kelak panenan berhasil ia akan mendapatkan bagi hasilnya. Setiap hari kaki Ibunda Siti berlumur lumpur sampai setinggi paha. Ia hanya bisa berharap kelak panenan benar-benar berhasil agar bisa mendapat bayaran.

Hari itu Siti ingin bisa makan kangkung. Ia pergi ke rumah tetangganya, mengetuk pintu dan meminta ijin agar boleh mengambil kangkung. Meski sebenarnya Siti bisa saja langsung memetiknya, tapi ia selalu ingat pesan Ibunya untuk selalu minta ijin dulu pada pemiliknya. Setelah diijinkan, Siti langsung berkubang di empang untuk memetik kangkung, sebatas kebutuhannya bersama Ibunya. Petang hari Ibunya pulang. Siti menyerahkan 2000 perak yang didapatnya. Ia bangga bisa membantu Ibunya. Lalu Ibunya memasak kangkung hanya dengan garam. Berdua mereka makan di atas piring seng tua, sepiring nasi tak penuh sepiring, dimakan berdua hanya dengan kangkung dan garam. Bahkan ikan asin pun tak terbeli, kata Ibunda Siti.
Bayangkan, anak sekecil itu, pulang sekolah menenteng beban berat jualan bakso keliling kampung, tiba di rumah tak ada makanan. Kondisi rumahnya pun hanya sepetak ruangan berdinding kayu lapuk, atapnya bocor sana-sini. Sama sekali tak layak disebut rumah. Dengan kondisi kelelahan, dia kesepian sendiri menunggu Ibunya pulang hingga petang hari.
Sering Siti mengatakan dirinya kangen ayahnya. Ketika anak-anak lain di kampung mendapat kiriman uang dari ayah mereka yang bekerja di kota, Siti suka bertanya kapan ia dapat kiriman. Tapi kini Siti sudah paham bahwa ayahnya sudah wafat. Ia sering mengajak Ibunya ke makam ayahnya, berdoa disana. Makam ayahnya tak bernisan, tak ada uang pembeli nisan. Hanya sebatang kelapa penanda itu makam ayah Siti. Dengan rajin Siti menyapu sampah yang nyaris menutupi makam ayahnya. Disanalah Siti bersama Ibunya sering menangis sembari memanjatkan doa. Dalam doanya Siti selalu memohon agar dberi kesehatan supaya bisa tetap sekolah dan mengaji. Keinginan Siti sederhana saja : bisa beli sepatu dan tas untuk dipakai sekolah sebab miliknya sudah rusak.
Kepikiran dengan konsidi Siti, dini hari terbangun dari tidur saya buka internet dan search situs Trans7 khususnya acara Orang-Orang Pinggiran. Akhirnya saya dapatkan alamat Siti di Kampung Cipendeuy, Desa Cibereum, Cilangkahan, Banten dan nomor contact person Pak Tono 0858 1378 8136.

Usai sholat Subuh saya hubungi Pak Tono, meski agak sulit bisa tersambung. Beliau tinggal sekitar 50 km jauhnya dari kampung Siti. Pak Tono-lah yang menghubungi Trans7 agar mengangkat kisah hidup Siti di acara OOP. Menurut keterangan Pak Tono, keluarga itu memang sangat miskin, Ibunda Siti tak punya KTP. Pantas saja dia tak terjangkau bantuan resmi Pemerintah yang selalu mengedepankan persyaratan legalitas formal ketimbang fakta kemiskinan itu sendiri. Pak Tono bersedia menjemput saya di Malimping, lalu bersama-sama menuju rumah Siti, jika kita mau memberikan bantuan. Pak Tono berpesan jangan bawa mobil sedan sebab tak bakal bisa masuk dengan medan jalan yang berat.
Saya pun lalu menghubungi Rumah Zakat kota Cilegon. Saya meminta pihak Rumah Zakat sebagai aksi “tanggap darurat” agar bisa menyalurkan kornet Super Qurban agar Siti dan Ibunya bisa makan daging, setidaknya menyelematkan mereka dari ancaman gizi buruk. Dari obrolan saya dengan Pengurus Rumah Zakat, saya sampaikan keinginan saya untuk memberi Siti dan Ibunya “kail”. Memberi “ikan” untuk tahap awal boleh-boleh saja, tapi memberdayakan Ibunda Siti agar bisa mandiri secara ekonomi tentunya akan lebih bermanfaat untuk jangka panjang. Saya berpikir alangkah baiknya memberi modal pada Ibunda Siti untuk berjualan makanan dan buka warung bakso, agar kedua ibu dan anak itu tidak terpisah seharian. Siti juga tak perlu berlelah-lelah seharian, dia bisa bantu Ibunya berjualan sambil belajar.

Mengingat untuk memberi “kail” tentu butuh dana tak sedikit, pagi ini saya menulis kisah Siti dan memforward ke grup-grup BBM yang ada di kontak BB saya. Juga melalui Facebook. Alhamdulillah sudah ada beberapa respon positif dari beberapa teman saya. Bahkan ada yang sudah tak sabar ingin segera diajak ke Malimping untuk menemui Siti dan memeluknya. Bukan hanya bantuan berupa uang yang saya kumpulkan, tapi jika ada teman-teman yang punya putri berusia 7-8 tahun, biasanya bajunya cepat sesak meski masih bagus, alangkah bermanfaat kalau diberikan pada Siti.

Adapula teman yang menawarkan jadi orang tua asuh Siti dan mengajak Siti dan Ibunya tinggal di rumahnya. Semua itu akan saya sampaikan kepada Pak Tono dan Ibunda Siti kalau saya bertemu nanti. Saya menulis artikel ini bukan ingin menjadikan Siti seperti Darsem, TKW yang jadi milyarder mendadak dan kemudian bermewah-mewah dengan uang sumbangan donatur pemirsa TV sehingga pemirsa akhirnya mensomasi Darsem. Jika permasalahan Siti telah teratasi kelak, uang yang terkumpul akan saya minta kepada Rumah Zakat untuk disalurkan kepada Siti-Siti lain yang saya yakin jumlahnya ada beberapa di sekitar kampung Siti.
Mengetuk hati penguasa formal, mungkin sudah tak banyak membantu. Saya menulis shout kepada Ibu Atut sebagai “Ratu” penguasa Banten ketika kejadian jembatan ala Indiana Jones terekspose, tapi toh tak ada respon. Di media massa juga tak ada tanggapan dari Gubernur Banten meski kisah itu sudah masuk pemberitaan media massa internasional. Tapi dengan melalui grup BBM, Facebook dan Kompasiana, saya yakin masih ada orang-rang yang terketuk hatinya untuk berbagi dan menolong. Berikut saya tampilkan foto-foto Siti yang saya ambil dari FB Orang-Orang Pinggiran. Semoga menyentuh hati nurani kita semua.


Suara siti pas nawarin bakso bikin ane nangis, gan
Banyak yang tergerak untuk membantu Siti bocah penjual bakso baik melalui komunitas kaskus, kompasiana maupun bantuan dari Trans7. Diharapkan orang pinggiran seperti Siti dapat tertolong dengan bantuan teknologi informasi dari para dermawan di kota besar. Ayo kita bantu Siti Bocah Penjual Bakso!
Kisah Siti Penjual Bakso Berusia 7 Tahun yang sejak tanggal 7 maret kemarin menggerakkan hati para donatur, saat ini sedang ditangani dengan aksi nyata para kaskuser dan kompasiana. Berikut adalah update kabar terbaru Siti Bocah Penjual Bakso oleh penulis awalnya yaitu Mbak Ira Oemar.
Siti Penjual Bakso (Update 9 Maret)

Saya terharu dan bahagia, ketika tulisan saya tentang Siti, bocah yatim usia 7 tahun yang terpaksa berjualan bakso keliling kampung demi bertahan hidup, ternyata mendapat sambutan luar biasa dari Kompasianers. Niat awal menulis tentang itu memang untuk mengetuk hati pembaca. Sebab keinginan saya membantu Siti yang terbatasi oleh kemampuan finansial saya yang tak seberapa, membuat saya harus putar otak untuk menggaet lebih banyak lagi simpatisan. Kalau sekedar membelikan Siti sepasang sepatu dan sebuah tas sekolah serta beberapa potong baju bekas pantas pakai, rasanya semua itu tak menyelesaikan akar masalahnya : kemiskinan akut, ketiadaan penghasilan dan ketidakjelasan kesinambungan pendidikan Siti.

Bertolak dari pemikiran itu maka saya menggandeng Rumah Zakat untuk secara teknis memberikan bantuan dan bimbingan mengenai penyaluran dana yang terkumpul. Dan karena ini adalah “proyek” todongan saya ke Rumah Zakat, maka saya janji pada Rumah Zakat akan mencarikan donatur sebanyak-banyaknya. Jujur saja saat itu saya belum tahu akan terkumpul berapa dan akan mengajak siapa saja. Hanya segumpal optimisme besar yang mendorong saya untuk langsung memulai pagi itu juga menulis di grup-grup BBM, di Facebook dan di Kompasiana.

Ternyata optimisme saya membuahkan hasil. Tulisan di Kompasiana kemudian bergulir dan di share ke 600-an akun FB dan 30-an akun Twitter. Yang tak saya duga kemudian di-copas oleh seorang Kaskuser dan menggelinding bak bola salju di Kaskus (disini : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=13426271). Terus terang saya berterimakasih sekali kepada Mr. X yang telah meneruskannya di Kaskus. Juga ada Kompasianer Bapak Suryokoco Suryoputro (www.kompasiana.com/suryokocoadiprawiro) yang kemudian meng-copas di situs ini : http://www.desamerdeka.com/newsflash/2012/03/siti-bocah-yatim-harus-jualan-bakso-dengan-upah-rp-2000-sehari/.

Apapun bentuk dukungan pembaca, saya terharu dengan partisipasinya. Ini menyadarkan saya ternyata kita bangsa yang punya rasa solidaritas tinggi, toleransi, gotong royong dan kepedulian sosial yang tinggi, seperti dalam pelajaran PMP tahun ’80-an. Karakter bangsa yang mulia itu masih melekat kuat. Kemarin pagi saya mendapatkan email berisi kata-kata bijak : “lebih baik mampu menyalakan sebuah lilin dari pada mengeluhkan kegelapan”. Setidaknya dalam kasus Siti ini, kita berhenti menghujat Pemerintah dan DPR, tapi mulai menyalakan lilin yang kemudian membakar lilin-lilin lainnya sampai menyala terang. Semoga saja kelak Pemerintah Pusat dan Daerah serta DPR dan DPRD “silau” dengan cahaya lilin yang dinyalakan secara swadaya oleh masyarakat. Kita telah bertransformasi menjadi masyarakat yang mampu mengelola masalah di negeri auto pilot!

Tadi pagi sebelum Subuh, saya mendapat kabar kunjungan ke rumah Siti hari Minggu 11 Maret 2012 bakal ramai. Selain saya dan Rumah Zakat Kota Cilegon, akan ada rombongan dari Facebook, dari Cirebon, Semarang, dll. Belum lagi Kaskusers yang rencananya akan ke sana Minggu depan. Selain itu ada bantuan perorangan yang mentrasfer langsung ke rekening Bapak Tono, seorang guru honorer yang mengontak Trans7 agar menayangkan kisah hidup Siti.


Subhanallah, alangkah besar potensi dana terkumpul. Tapi dana besar itu akan tidak optimal pemanfaatannya jika tidak diberikan dengan tepat sasaran. Saya mengambil pelajaran dari kasus Darsem, TKW di Arab Saudi yang terancam hukuman mati kecuali membayar diyat sebesar 4 milyar rupiah kalau tidak salah. Saat itu TV One dan SCTV menggalang dana bantuan untuk pembebasan Darsem. Aksi itu mendapat sambutan pemirsa. Ketika dana sudah terkumpul, Komisi I DPR RI memutuskan Pemerintah harus membayar diyat Darsem. Akhirnya, Darsem pun bebas dan dipulangkan ke Indonesia dengan disambut pejabat-pejabat negara.

Dana terkumpul dari TV One kemudian diserahkan begitu saja kepada Darsem melalui acara JLC. Nilainya sekitar Rp 1,2 milyar. Dana sebesar itu untuk hidup di kampung Darsem tentu luar biasa sekali! Apa yang dilakukan Darsem dengan dana itu? Ia kemudian membeli tanah dan membangun rumah mewah di kampungnya, menggelar pesta khitanan anaknya dengan aneka pertunjukan sampai 3 hari penuh, membeli perhiasan emas yang menggelantung di sekujur tubuhnya. Jadilah Darsem OKB yang bergaya hidup hedonis di kampungnya. Pemirsa SCTV kemudian beramai-ramai mengirim somasi kepada Darsem, yang dianggap lupa diri dan tak mau berbagi dengan TKI/TKW lain yang masih terbelit masalah.
Tapi apa daya, seluruh uang sudah diserahkan kepada Darsem dan tentu hak Darsem untuk dibelanjakan apa saja uang itu. Inilah dampak dari kurangnya perencanaan dan pemikiran mendalam dalam memberikan bantuan. Adalah suatu kesalahan besar ketika dana yang dimaksudkan untuk pembebasan Darsem, tetap diberikan sepenuhnya kepada Darsem meski pembebasannya sudah ditanggung Pemerintah. Mestinya dana ini bisa dipakai untuk pembebasan TKW lainnya.

Akibatnya, seseorang yang sudah lama hidup susah, ketika di tangannya disodorkan segepok uang tanpa bimbingan dan pengawasan, maka bisa jadi ia akan membeli semua barang yang dulu diimpikannya. Meski uang itu habis dalam waktu sekejap hanya untuk membeli barang konsumtif dan tidak untuk modal usaha produktif. Kelak kalau uangnya habis, entah bagaimana lagi, mungkin perhiasan emas satu persatu akan tergadai. Mungkin biaya maintenance rumah mewahnya bakal tak terpenuhi lagi.

Berkaca dari itu, saya dan Rumah Zakat sejak awal merencanakan dana bantuan untuk Siti harus difokuskan pada pengembangan ekonomi produktif, pada pemberdayaan ekonomi ummat. Kami ingin memberi “kail” bukan “ikan”. Ikan meski sekarung atau 1 ton sekalipun akan habis. Tapi kail akan tetap bisa dipakai untuk memancing ikan di manapun dan kapanpun.

Untuk itu, siang ini selepas sholat Jumat, relawan Rumah Zakat akan bertolak ke kampung Siti untuk melakukan survey, memetakan kondisi masyarakat setempat, mempelajari apa kebutuhan mereka, mengetahui potensi Ibunda Siti dan menelaah kira-kira usaha apa yang tepat untuk mereka jalankan, serta kemungkinan Ibunya Siti punya tanggungan hutang. Hasil survey akan jadi pedoman kami untuk meeting Sabtu besok dan mempersiapkan kunjungan pada hari Minggu.

Selain itu, ada tawaran menarik dari teman saya yang telah jadi pengusaha sukses, ia ingin mengajak Siti dan Ibunya untuk tinggal bersama keluarganya di Jakarta. Sekolah Siti akan jadi tanggungannya dan Ibunya Siti akan diberi peluang usaha, misalnya membuka kantin atau warung kopi untuk para pekerja di perusahaannya. Tentu jika Siti dan Ibunya bersedia. Kesediaan ini akan dijajaki oleh tim survey nanti malam, setelah bertemu Siti dan Ibunya.

Jadi, kami punya plan A dan plan B. Plan A : jika Siti dan Ibunya bersedia diboyong ke Jakarta, maka solusi atas permasalahan Siti selesai sudah. Artinya, dana terkumpul ini akan diapakan? Sedangkan plan B : jika Siti dan Ibunya menolak diajak pindah ke Jakarta, artinya dana terkumpul akan kami alokasikan untuk biaya sekolah Siti, pembayaran hutang (jika ada) dan modal kerja bagi Ibunda Siti. Nah, bagaimana jika ternyata plan A yang jalan? Akan dikemanakan dananya?

Melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan rencana kami dan Rumah Zakat. Jika seandainya solusi atas permasalahan Siti sudah teratasi, dana terkumpul akan kami salurkan pada Siti-Siti yang lain, yang kemungkinan besar akan kami temui di kampung terpencil itu. Daerah-daerah di Banten memang masih menyimpang banyak kantong-kantong kemiskinan akut. Anda tentu belum lupa jembatan ala Indiana Jones yang sampai masuk media massa internasional, itu juga terjadi di Banten.

Bukankah tujuan kita membantu warga miskin yang belum tersentuh bantuan formal dari Pemerintah? Jadi saya rasa jika Siti dan Ibunya sudah mendapatkan keluarga asuh mapan yang siap memenuhi segala kebutuhan hidup mereka, tentu tak ada salahnya jika dana itu kemudian disalurkan bagi pemberdayaan ekonomi warga sekitarnya yang juga miskin, hanya saja tidak seberuntung Siti diliput oleh Trans7. Bisa juga untuk membantu pendidikan anak usia sekolah yang terancam putus sekolah di sekitar daerah Siti. Saya yakin, pendidikan adalah salah satu kunci pemutus mata rantai kemiskinan. Jadi menyelamatkan anak-anak miskin di kampung dari kemungkinan putus sekolah, juga sebuah misi yang mulia.

Video Siti Orang Pinggiran

Demikian tulisan ini saya buat, dengan harapan akan ada masukan dari Kompasianers. Berat bagi saya mengemban amanah dari pembaca yang mempercayakan menitipkan donasinya kepada saya. Jika saya salah mengalokasikan, bukan tidak mungkin keikhlasan penyumbang jadi berkurang. Untuk itu saya terbuka atas kritikan dan masukan yang bersifat membangun demi lancarnya misi kemanusiaan kita. Jangan sampai niat mulia jadi salah sasaran dan kurang manfaat seperti kasus Darsem, yang akhirnya justru menyulut kemarahan donatur. Saran dan masukan dari pembaca akan kami jadikan pertimbangan dalam mengambl keputusan, sebab kami mengemban amanah anda.

Nah keren kan peran Ira Oemar dengan bermodalkan idealisme dan tulisan di blog, beliau bisa menggerakkan orang-orang yang peduli untuk membantu Siti Orang Pinggiran Penjual Bakso. Tidak sabar saya menunggu perkembangan bantuan untuk Siti ini.

Kunjungan ke Rumah Siti : Euphoria Kunjungan, Kebahagiaan Siti dan “Kegembiraan” Tetangga


PERJALANAN KE KAMPUNG CIPENDEUY
Berangkat jam 9 dengan naik Xenia, perjalanan cukup lancar. Mas Ahmad duduk di depan samping sopir. Saya, Marnie dan Bryan duduk di jok tengah. Sedang Mas Otong bersama barang bawaan di jok belakang. Kami sempat melewati jembatan gantung ala Indiana Jones, yang sempat membuat Bryan langsung berseru baru kali itu dia melihat jembatan macam itu bukan di film. Seisi mobil tertawa mendengarnya.
Jam 12.15, kami memutuskan istirahat sejenak setelah menemukan sebuah masjid di pertigaan jalan yang cukup ramai. Mobil kami parkir di halaman Indomart di seberang jalannya, lalu kami menumpang makan bekal kami di sebuah warung. Hanya membeli kopi dan gorengan, kami bisa duduk dan makan di situ. Sayangnya, saat sebagian dari kami masih sholat, hujan turun sangat deras, sepatu saya basah kuyup di teras masjid. Karena kami mempredikasi hujan bakal lama dan kami masih harus menggotong barang bawaan sebanyak itu menuju kampung Siti, maka Mas Ahmad memutuskan membeli jas hujan ponco untuk kami berenam di Indomart. Jas hujan sekali pakai. Sekitar jam 13.25 kami melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan yang kami temui hanya hutan kelapa sawit berkilo-kilo meter. Lepas dari hutan sawit, ganti hutan tanaman karet. Lewat hutan karet, kembali deretan hutan kelapa sawit. Akhirnya kami sampai di lokasi kampung Siti dan 2 kampung lainnya sekitar jam 15.20-an. Mobil terpaksa diparkir di halaman sebuah rumah, sebab menuju ke kampung Siti harus melewati jembatan dari kayu gelondongan dilanjutkan jalan kaki sekitar 2,5 km dengan kondisi jalan naik turun yang berbatu-batu tajam dan berlumpur tebal pasca hujan.
2 Relawan hebat ini langsung mengambil bagian terberat dari bawaan kami
Kami berbagi barang bawaan. Mas Ahmad memikul bakul dan sayuran serta aneka dagangan yang beratnya minta ampun deh. Mas Otong menggendong sekarung beras 20 kg di pundaknya. Saya menggendong ransel isi macam-macam hadiah dan oleh-oleh untuk Siti, di tangan kiri membawa tas dan baju seragam Siti. Bryan dan Marnie membawa tas sekolah, alat tulis, 2 kardus kornet dan sembako lainnya. Sopir kami tinggal di lokasi parkiran agar dia bisa beristirahat.
Seperti sudah saya duga, Bryan jadi tontonan sepanjang jalan dan diteriaki anak-anak kampung sambil tertawa-tawa. Kami harus ekstra hati-hati melangkah agar tak tergelincir dan jatuh. Sepatu saya sempat terbenam 2-3 kali di lumpur dan sulit diangkat. Tak terbayang betapa beratnya Mas Ahmad dan Mas Otong dengan bawaannya. Tapi mereka tetap melangkah dengan cepat meski keringat berleleran. Semoga Allah mengganti segala kepenatan mereka.
Salah satu remaja putri yang selalu menempel Ibu Armiah
JURU BICARA DAN PARA PENONTON DI RUMAH SITI
Setelah 30 menit jalan kaki penuh perjuangan, kami tiba di rumah Siti dan di sana sudah ada banyak tamu dari rombongan Facebook dan Kaskus. Kebetulan mereka sudah berpamitan pulang. Gantian kami yang masuk. Di dalam selain Ibu Armiah, Ibunda Siti, sudah ada banyak sekali orang duduk mengitari ruang tamu rumah Siti yang tak bisa dibilang luas. Belum lagi para ibu dan remaja putri yang berdiri berdesakan di depan pintu yang menghubungkan antara ruang tamu dan dapur.
Kami disambut oleh seorang lelaki muda – saya taksir umurnya pertengahan 30-an – yang selama pembicaraan tampak mendominasi forum. Ada juga Pak Heri, lelaki paruh baya yang memang sudah dikenal baik oleh Mas Ahmad saat dia datang untuk survey. Pak Heri ini tetangga yang tinggal persis di sebelah rumah Siti dan sering menjenguk keluarga Siti. Beliau pengrajin anyaman bambu yang tekun dengan profesinya, meski kreatifitas hasil karyanya dihargai sangat murah. Istri Pak Heri sudah 4 tahun lumpuh. Saya akan angkat kisah Pak Heri ini di tulisan lain.
Hanya sebentar Pak Heri menemui kami, lalu ia undur diri. Kini pria muda itulah yang lebih banyak jadi “juru bicara” Ibu Armiah. Saya sebut juru bicara, sebab ia bukannya jadi penterjemah, tapi ia menjawab semua pertanyaan saya yang saya tujukan pada Ibu Armiah, sebelum Ibu Armiah sempat membuka mulut. Ini membuat kami kecewa.
Penyerahan 2 dos kornet Super Qurban masing-masing isi @ 9 kaleng
Saya sengaja memperlambat tempo bicara saya tapi mengeraskan volume untuk mengatasi suara gaduh yang mengelilingi rumah Siti. Maksud saya, supaya Bu Armiah punya cukup waktu untuk mencerna ucapan saya. Sebab ia sebenarnya paham bahasa Indonesia, hanya saja sulit untuk menjawab dalam bahasa Indonesia. Marnie yang duduk di samping saya dan Mas Otong yang posisinya di samping Mas Ahmad, sesungguhnya sudah siap jadi penterjemah. Tapi itulah, apapun yang saya tanyakan, tetangganya itulah yang menjawab. Juga seorang remaja putri – yang menurut Mas Ahmad dia sudah pernah kerja di Jakarta – yang duduk di sebelah Bu Armiah, diapun selalu mendahului Bu Armiah menjawab pertanyaan saya.
Ketika saya tanya berapa jumlah bantuan yang sudah diterima Ibu Armiah yang di transfer melalui rekening Pak Tono, lelaki muda dan remaja putri inilah yang dengan lantang menjawab “lima juta!”. Begitupun ketika saya tanya apa saja bantuan dari pihak stasiun TV. Ketika pertanyaan penting saya ajukan : apakh Bu Armiah punya beban hutang? Dengan malu ia menjawab “punya”. Lalu saya jelaskan bahwa kami ingin ke depan Bu Armiah melangkah dengan tenang tanpa terbebani hutang, sehingga hasil berjualan sayuran sepenuhnya bisa untuk biaya hidup. Saya terus terang berapa hutangnya.
Siti menimang-nimang kornet dan memutar-mutar kalengnya
Semula Bu Armian menjawab “tiga ratus” (Rp. 300.000,-). Tapi ketika saya minta sekali lagi ia mengingat-ingat jumlah hutangnya, kedua orang itu berbicara dalam bahasa setempat dan Bu Armiah menjawab “tiga ratus enam puluh”. Saya minta Mas Ahmad memberikan Rp. 400.000,- dalam pecahan 50 ribuan. Sebab saya pikir hutangnya terpecah-pecah di banyak pihak. Ternyata, begitu uang Rp. 400.000,- saya berikan padanya, sebagian besar uang itu langsung diberikan pada lelaki muda yang dihadapannya yang sejak tadi menjadi juru bicaranya. Rupanya dia “kreditor” terbesar Bu Armiah.
Sayang sekali, ketika saya tanya apa Bu Armiah bisa naik sepeda onthel, ternyata ia tidak bisa sama sekali. Aduh, kami jadi tepok jidat deh! Mana mungkin kulakan ke pasar jalan kaki? Padahal kami sudah mendesain sepeda onthel yang dilengkapi kerangjang di depan dan kiri-kanan belakang, untuk ransportasinya ke pasar. Kalau naik ojek berap ongkosnya? Sekali lagi yang menjawab adalah si “jubir”. Katanya Rp. 20.000,- sekali jalan, jadi Rp. 40.000,- PP. Walah, mana mungkin bisa untung? Dagang sayuran di kampung kan untungnya tipis, bisa-bisa malah tombok untuk bayar ojek.
Siti mencoba sepatu barunya. Sepatu baru pertama yang dimilikinya
Saya sampaikan ke Bu Armiah, sebenarnya rencana kami membinanya berjualan sayuran. Jika dalam 1-3 bulan berjualan sayuran ternyata bisa berjalan baik, akan kami tambah modalnya agar ia bisa nambah berjualan ikan. Kalau terus bergulir, 3 bulan kemudian mungkin akan kami bukakan warung kelontong di depan rumahnya. Memang kami sengaja tidak menyalurkan seluruh bantuan donatur dalam bentuk tunai sekaligus. Kemarin kami hanya memberikan Rp. 500.000,- untuk modal berjualan sayuran sebulan ke depan. Sebab semua kebutuhan hidup sudah kami penuhi untuk 2 bulan ke depan. Pun juga sudah banyak bantuan tunai yang diberikan langsung oleh pihak lain. Kami takut pemanfaatannya kurang maksimal. Apalagi setelah melihat kepolosan, keluguan dan – maaf – “kebodohan” Bu Armiah, yang sangat rawan dimanfaatkan pihak lain yang jeli membidik peluang Bu Armiah yang kaya mendadak.
horee,aku punya seragam baru,bisa ganti baju neh, seragamku sudah lusuh. Jilbabnya juga ada 3 neh, bisa buat ganti jilbab sekarang yg cuma satu2nya. Terimakasih dermawan Kompasianers
KECERIAAN SITI
Siti sendiri ternyata tetaplah seorang bocah cilik yang polos. Saat kami tiba di sana ia digendong pengunjung lain. Saat kami menunjukkan padanya oleh-oleh kami, Siti seperti terpana. Saya membimbingnya membuka bingkisan pertama : alat-alat sekolah. Siti langsung terbelalak melihat serutan pensil, sepertinya itu benda aneh baginya. Saya mengajarinya cara menyerut pensil. Siti juga menimang-nimang kotak crayon dengan sorot mata berbinar-binar. Juga buku-buku tulis dan buku gambar dengan cover lucu-lucu. Entah seperti apa buku tulis milik Siti satu-satunya.

Saat saya memintanya membuka bungkusan kado berisi sepatu, Siti girang bukan kepalang. Ia langsung mencobanya dan membawanya berjalan di ruangan itu. Selanjutnya giliran bingkisan baju seragam, kembali Siti terbelalak melihat 3 stel seragam baru. Kalau tas sekolah, rupanya ada tamu tadi pagi yang sudah membawa tas sekolah. Tapi yang membawa peralatan sekolah komplit, sepatu dan seragam memang baru kami. Terharu rasanya melihat sorot bahagia di mata Siti. Mungkin baginya ini seperti mimpi, menerima bingkisan kado sebanyak itu. Berkali-kali saya peluk dia, saya pangku dan saya ciumi. Yang lain pun berebutan berfoto dengan Siti.
Duuuh, alat-alat tulis ini bagus-bagus dan lucu2 ya, aku sampe bingung. Jadi tambah semangat sekolah neh. Terimakasih para donatur sudah membuatku tersenyum ceria
Lucunya, saat saya berikan 2 kotak berisi agar-agar dan jelly beraneka warna dan bentuk, Siti langsung membagikannya ke anak-akan kecil yang ada di ruangan itu. Setelah semua kebagian, ia berlari keluar dan membagikan pada teman-temannya yang mengintip dari luar rumah. Masya Allah, saat ia mendapat kelebihan makanan, Siti justru mendahulukan membagi pada teman-temannya, sampai ia sendiri lupa belum mengambil, kalau saja Ibunya tak menyisihkan sepotong untuk Siti. Begitupun setoples cemilan anak-anak, langsung dibuka Siti dan diberikannya pada anak kecil di sampingnya. Siti…, sungguh mulia hatimu, Nak!
Saat memberikan bantuan 2 dos kornet Super Qurban, Mas Otong harus mengajari Ibu Armiah bagaimana cara membuka kalengnya. Setelah semua bantuan diberikan dan sekali lagi berpesan bahwa kami akan memanau perkembangannya berdagang sayuran, sekaligus menekankan bahwa sebakul besar sayuran yang kami bawa ini adalah modal awal untuk memulai berjualan besok, akhirnya kami berpamitan pulang.
Siti mengenakan kaos baru dan tas dari Rumah Zakat. Kini Siti jadi siswa program Beasiswa Ceria
Tak lupa kami mampir sebentar ke rumah Pak Heri di samping rumah Siti, untuk menjenguk istrinya yang sakit lumpuh 4 tahun. Di kamar yang gelap karena tak ada lampu, kami mendapati istri Pak Heri duduk berselonjor di kasur tipis yang di gelar di lantai. Kami juga melihat benda-benda kerajinan bambu kreasi Pak Heri. Pihak Rumah Zakat akan mengundang Pak Heri ke Cilegon selama seminggu untuk memberikan pelatihan ketrampilan bagi anak-anak binaan Rumah Zakat. Kami sempat memberikan bantuan Rp. 1.000.000,- untuk Pak Heri, untuk bantuan biaya berobat istrinya dan modalnya membuat kerajinan. Kisah Pak Heri akan saya tulis tersendiri.
Dalam perjalanan pulang, saya dan Mas Ahmad serta Mas Otong mendiskusikan apa yang kami lihat, dengar dan rasakan selama di rumah Siti. Terus terang kami kecewa dengan kehadiran para “juru bicara” yang mendominasi pembicaraan. Mereka tidak bertindak sebagai penterjemah – yang tidak kami perlukan sebab Marnie dan Mas Otong bisa bahasa Sunda – tetapi justru mendahului Ibu Armiah menjawab. Sepertinya mereka yang lebih tahu kondisi bantuan yang diterima Ibu Armiah, berapanya dan dari pihak mana. Padahal, menurut Mas Ahmad, ketika ia dan Pak Zainuddin survey hari Jumat dan Sabtu, lelaki muda itu sama sekali tak terlihat. Bahkan tidak juga saat waktu-waktu sholat jamaah di masjid. Lucunya, justru lelaki jubir inilah yang berpesan pada kami : “Sering-sering ya ke sini, jangan kapok-kapok”. Aduh!

Bryan Davies dan istrinya, Marnie. Terpana melihat rumah-rumah di sana
Yang justru kami ketahui sebagai orang yang dekat dengan keluarga Siti adalah Pak Heri dan guru mengaji Siti. Rumah Pak Heri persis di samping rumah Siti dan rumah guru mengajinya di depan rumah Pak Heri. Mereka berdua inilah yang justru tahu keseharian Siti dan Ibunya. Tapi ketika rombongan dari “kota” mulai datang berbondong-bondong dan jelas membawa bantuan, justru orang yang tak biasa dekat tiba-tiba seolah jadi tuan rumah, penerima tamu dan sekaligus humas merangkap juru bicara. Pak Heri dan guru mengaji Siti justru tak tampak ingin menonjolkan diri. Saya sempat menyalami guru mengaji dan istrinya di beranda rumah mereka.
Akhirnya kami berencana untuk datang lagi saat euphoria pemberi bantuan sudah tak lagi membludak seperti sekarang. Paling juga fenomena ini akan berlangsung sebulanan. Selanjutnya kami akan mengundang Ibu Armiah dan Siti ke Cilegon, meski cuma menginap semalam. Di tempat yang jauh dari pengaruh orang lain, kami lebih bisa melakukan pendekatan pada Ibunda Siti. Kami juga agak kuatir dengan masa depan dagangan Ibu Armiah. Dengan kondisi tak punya kemampuan apapun, tak bisa naik sepeda onthel apalagi motor, bisa-bisa kelangsungannya berwirausaha justru bangkrut terkikis ongkos ojek. Kalau dibukakan warung sembako, khawatir malah dihutangi warga.
Mas Ahmad sampai terseok-seok jalannya keberatan memanggul bakul isi sayuran dan aneka dagangan penuh

Yang jelas, kami akan terus memantau dan secara rutin mengunjungi kampung Siti. Uang bantuan donatur masih ada pada kami sekitar Rp. 7,7 juta. Akan kami berikan secara bertahap, mengingat Ibu Armiah tak pernah pegang uang banyak, kondisi rumahnya yang tak berpintu yang representatif, terlebih lagi kini semua orang jadi merapat padanya. Dua remaja putri yang ikut jadi jubir Bu Armiah, saya lihat sudah modern penampilannya. HP yang digenggam mirip BB. Mereka lebih tertarik berfoto dan bergaya dengan “Oom Bule”, meski Bryan sebetulnya sebal difoto.
Yang jelas, kami masih membutuhkan banyak dana dan masih mencari donatur untuk aksi sosial berikutnya : penyuluhan kesehatan dan pengobatan gratis bagi warga kampung Siti. Kalau saja ada dana terkumpul dalam jumlah di atas 30 juta, bisa dipakai untuk membuat MCK dan waterwell, supaya Siti tak perlu lagi mengungsi kalau mandi. Semoga saja suatu saat terwujud.
Meski berat memanggul karung beras, Mas Otong tetap tersenyum sabar
Siti Jauhariyah dan Ibu Armiah

2 komentar:

  1. wew udah pernah masuk orang pinggiran ik..

    BalasHapus
  2. terus update yach tentang siti, kalo bisa fotonya lebih banyak lagi...

    BalasHapus

Mengenai Saya

Foto saya
ini blog perdana "kempong"... mudah-mudahan dapat menampung saran dan segala unek-unek... ada postingan biodata para anggota kempong juga (eksklusif lho... ) jgn lupa tinggalkan komen yach.... terima kasih... HAH!!!

Pengikut

Blogger templates

Blogroll

Copyright © 2012 keluarga rempongTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.